Rabu, 11 Juli 2012


BAPA DISURGA TIDAK PERNAH MENINGGALKANMU.



Berikut sebuah cerita hikmah yang pernah saya dapatkan dari email seorang teman… semoga cerita berikut dapat memotivasi ataupun menginspirasi banyak orang ….
Ada sebuah suku pada bangsa Indian yang memiliki cara yang unik untuk mendewasakan anak laki-laki dari suku mereka.
Jika seorang anak laki-laki tersebut dianggap sudah cukup umur untuk di dewasakan, maka anak laki-laki tersebut akan di bawa pergi oleh seorang pria dewasa yang bukan sanak saudaranya, dengan mata tertutup.
Anak laki-laki tersebut di bawa jauh menuju hutan yang paling dalam. Ketika hari sudah menjadi sangat gelap, tutup mata anak tersebut akan dibuka, dan orang yang menghantarnya akan meninggalkannya sendirian. Ia akan dinyatakan lulus dan diterima sebagai pria dewasa dalam suku tersebut jika ia tidak berteriak atau menangis hingga malam berlalu.
Malam begitu pekat, bahkan sang anak itu tidak dapat melihat telapak tangannya sendiri, begitu gelap dan ia begitu ketakutan. Hutan tersebut mengeluarkan suara-suara yang begitu menyeramkan, auman serigala, bunyi dahan bergemerisik, dan ia semakin ketakutan, tetapi ia harus diam, ia tidak boleh berteriak atau menangis, ia harus berusaha agar ia lulus dalam ujian tersebut.
Satu detik bagaikan berjam-jam, satu jam bagaikan bertahun-tahun, ia tidak dapat melelapkan matanya sedetikpun, keringat ketakutan mengucur deras dari tubuhnya.
Cahaya pagi mulai tampak sedikit, ia begitu gembira, ia melihat sekelilingnya, dan kemudian ia menjadi begitu kaget, ketika ia mengetahui bahwa ayahnya berdiri tidak jauh dibelakang dirinya, dengan posisi siap menembakan anak panah, dengan golok terselip dipinggang, menjagai anaknya sepanjang malam, jikalau ada ular atau binatang buas lainnya, maka ia dengan segera akan melepaskan anak panahnya, sebelum binatang buas itu mendekati anaknya. Sambil berdoa agar anaknya tidak berteriak atau menangis.
Dalam mengarungi kehidupan ini, sepertinya Tuhan “begitu kejam” melepaskan anak-anakNya kedalam dunia yang jahat ini.
Terkadang kita tidak dapat melihat penyertaanNya, namun satu hal yang pasti.. !
DIA setia,
DIA mengasihi kita,
dan DIA selalu ada bagi kita…


>>Klik disini untuk support anda supaya blog ini tetap eksis<<
Apa yang anda tabur tidak akan kembali sia sia”



Cerita ini kudapatkan dari email seorang teman. Cerita yang menarik sekali, kebetulan beberapa hari lalu, saya juga mengalami hal yang menyentuh hati ketika pagi-pagi berjumpa dengan seorang bocah penjaja koran juga. Untuk kali ini, biarlah email dari teman saya postingkan di sini dulu . Berikut cerita yang menginspirasi ini :
Pagi itu seperti biasa saya berangkat pagi setelah subuh dari rumah, ke tempat penyimpanan motor di bilangan cawang, uki, walau sering terlambat, kali ini saya datang labih awal ketempat menunggu bis antar jemput yang membawa saya ke kantor, saya menyukai naik bus jemputan karena lelah berkendara dari depok-cikarang. Tidak tahan kemacetan ibu kota.
Seperti biasa saya duduk bersama rekan rekan sambil menunggu jemputan. Tetapi karena saya datang lebih awal, munculah seorang bocah lelaki yang seperti biasa menawarkan Koran kepada semua penduduk shelter.
” Koran, Koran, Kompas, Media, tempo, republika, warta kota” begitu teriak bocah laki-laki tersebut menawarkan Koran kepada kami. “Koran bang” dia menawari ku untuk membeli Koran. “seperti biasa kompas satu” kataku meminta Koran yang biasa kubaca setiap pagi.
Tangan mungilnya dengan cekatan memilih Koran yang kuminta diantara tumpukan Koran dagangannya.
” ini bang Koran kompasnya” memberi Koran yang aku minta kepadanya, “nih ada kembaliaanya engga” kataku sambil menyodorkan uang Rp 50.000, kepadanya. “beres bang, pasti ada” segera dikeluarkan kembaliannya dari tas gembloknya yang kotor, “wah pagi-pagi uangnya dah banyak ya” kataku kepada bocah tersebut.
“Allhamdulilah bang, rejeki saya lagi lancar” katanya sambil tersenyum senang. Dan setelah itu diapun berlalu menawarkan Koran kepada para penghuni shelter lainnya.
Saat ini pukul 05.20, masih terlalu lama jemputan ku datang, maka saya menyempatkan membaca oran kompas yang tadi saya beli pada bocah tukang Koran tersebut.
Tanpa sadar saya memperhatikan betapa gigih seorang bocah tukang Koran tersbut mencari uang, dengan menawarkan daganganya kepada semua orang yang datang dan pergi silih beranti.
Sepintas tampak keringat membasahi wajahnya yang tegar dalam usia beliaya harus berjuang memperoleh uang secara halal dan sebagai pekerja keras.
” Koran, mba ada tabloid nova, ada berita selebritisnya nih mba, atau ini tabloid bintang, ada kabar artis bercerai” katanya bagai seorang marketing ulung tanpa menyerah dia menawarkan Koran kepada seorang wanita setengah baya yang pada akhirnya menyerah dan membeli satu tabloid yang disebut sang bocah tersebut.
Sambil memperhatikan terbersit rasa kagum dan rasa haru kepada bocah tersebut, dan memperhatikan betapa gigihnya dia berusaha, hanya tampak senyum ceria yang membuat semua orang yang ditawarinya tidak marah. Tidak terdapat sedikit pun rasa putus asa dalam dirinya, walaupun terkadang orang yang ditawarinya tidak membeli korannya.
Sesaat mungkin bocah tersebut lelah menawarkan korannya, dan dia terduduk disampingku, “kamu engga sekolah dik” tanyaku kepadanya “engga bang, saya tidak ingin sekolah tinggi-tinggi” katanya.
“engga ada biaya dik’ tanyaku menyelidik, “Bukan bang, walau saya tukang Koran saya punya cita-cita” jawabnya, “maksudnya, kan dengan sekolah kamu bisa mewujudkan cita-cita kamu dengan lebih mudah” kataku menjawab.
“Aku sering baca Koran bang, banyak orang yang telah sekolah tinggi bahkan sarjana tidak bekerja bang, alias nganggur. Mending saya walau sekolah tidak tinggi saya punya penghasilan bang” katanya berusaha menjelaskan kepadaku. “abang ku bang, tidak sekolah bisa buka agen Koran penghasilan sebulannya bisa 3-4 juta bang, saya baca di Koran gaji pegawai honorer Cuma 700ribu, jadi buat apa saya sekolah bang” tanyanya kepadaku
Saya mengerutkan kening, tertanda saya tekejut dengan jawaban bocah kecil tersebut pemikiran yang tajam, dan sebuah keritik yang dalam buat saya yang seorang sarjana. Dalam hati saya membenarkan perkataan anak tersebut, UMR kota bekasi saja +/-900rb untuk golongan smu.
Saya pun tersenyum mendengar jawaban anak tersebut, kemudian bus jenputan saya pun tiba dan saya meninggalkan bocah tersebut tanpa bisa menjawab pertanyaanya, apa tujuan kita sekolah, menjadi sarjana.?
Karena banyak sarjana sekarang yang begitu lepas kerja mengaggur, tidak punya penghasilan, dan banyak juga karena belum bisa bekerja yang melanjutkan S2 dengan alas an ingin mengisi waktu luang dan menambah nilai jual dirinya.
Tapi pernyataan bocah penjual Koran tersebut menyadarkan saya, tentang rejeki, dan tujuan dari bersekolah, yang saat ini saya mungkin kalah dengan bocah kecil tersebut, walau saya seorang yang mempunyai penghasilan dan mempunyai suatu jabatan saya hanyalah manusia gajian, saya hanya seorang buruh.
Beda dengan bocah kecil tersebut, dalam usia belia dia sudah bisa menjadi majikan untuk dirinya sendri. Sungguh hebat pemikiran lugu bocah penjual Koran tersebut. pembalajaran yang menarik dari seorang bocah kecil yang setiap hari kutemui.(EA)
“Rizky Tuhan sungguh tidak terbatas, tinggal kemauan kita untuk dapat berusaha menggapainYa”
“Pelajaran Dapat di peroleh tidak hanya di pendidikan formal, Dan dunia pun banyak memberi pelajaran untuk kita”

 >> Klik disini untuk support anda supaya blog ini tetap eksis <<
"Apa yang anda tabur tidak akan kembali sia sia"

SEORANG GILA DAN PELAJARAN MEMBERI
“…bahkan sebuah ide kewarasan dan kebijaksanaan bisa lahir dari sebuah kegilaan..”
“Endang Gundul….! Endang gundul….!!”
“plokk…plookk…plookk…”
Sembari menepuk-nepuk tangan dan bersorak-sorak,
Kami segerombolan setan-setan kecil berusia 10 tahunan asik mengejekki seorang perempuan gila.
Hampir setiap ia lewat didekat kami, secara spontan dan kegirangan kami
Merasa menemukan objek sekaligus proyek untuk dikerjakan bersama-sama.
Perempuan gila ini dilingkungan kami dikenal dengan panggilan “mbak endang gundul”
Bukan tanpa sebab ia dipanggil demikian, hal itu karena Mbak endang memang
Tidak memiliki rambut dikepalanya, yang dengan kreatifnya ia ganti dengan apa yang aku sebut dengan “rambut palsu”. Rambut ini terbuat dari kumpulan kain perca berwarna-warni yang dijahitnya sendiri, sehingga membentuk satu rangkaian menjuntai panjang.
(persis seperti rambut gimbal rasta versi calourfull dg bahan kain)
Akhirnya dipasanglah “wig” kontemporer buatan mbak endang itu menyerupai bando dikepalanya.
Harus kuakui ia kreatif sekali!.
Jika tidak sedang mengejek, dan menyorakki, maka kami dengan gaya
Preman pasar meminta duit receh Dari mbak endang sekedar buat jajan
(betapa hina ya kami waktu itu, masa’ meras orang gila).cckk…ckk..
Mbak endang yang ketakutan dan grogi akhirnya mau juga memberi kami barang seratus ato lima puluh perak….
Mbak endang sendiri tinggal di sebuah WC bekas tak jauh dari rumah sahabat masa kecilku. Sebuah WC yang terdapat sebuah sumur tua di sampingnya.
Sumur yang airnya hanya sekitar 50 centi dan sangat kotor oleh sampah.
Sebenarnya WC sekaligus sumur tua ini merupakan satu bagian dari “langgar” atau surau tua yang ada di desa sahabatku itu. Sebenarnya rumah kami berdekatan (bersebarangan) namun karena terpisah oleh jalan utama. Maka kami memiliki RT dan desa yang berbeda.
Setahuku langgar tersebut merupakan hibah dari seorang tua kaya yang sudah lama sekali meninggal. Dan setahuku pula pewaris atopun kerabatnya masih ada yang tersisa di desa tersebut. Namun sepertinya mereka agak sekuler.
Sehingga langgar tersebut tak lagi pernah terpakai kecuali bulan ramadhan tiba.
Karena kalah bersaing dengan masjid gedhe yang berada tak jauh dari langgar tersebut.
Sedih sekali pastinya pria tua yang menghibahkan langgarnya dengan niat untuk dimanfaatkan oleh kerabat dan masyarakat, namun ternyata tak terurus.
Sering kulihat banyak kotoran cicak dilantainya yang terbuat dari semen sederhana.
Maupun sarang laba-laba yang bergantung di langit-langit langgar.
Langgar ini hanyalah sebuah langgar yang kecil, mungkin hanya bisa menampung
30-an jemaah.
Selepas ramadhan, maka langgarpun hanya menjadi tempat bermain bagi anak-anak kecil seperti kami.
Mbak endang, sering dalam kesendiriannya aku memperhatikannya.
Entah mengapa sejujurnya aku terpikat padanya, entah karena alasan apa.
Aku pikir ia menyimpan banyak misteri dalam matanya.
Dan aku serasa ingin tahu itu..
Asal kalian tahu saja bahwa mbak endang memiliki pinggiran bola mata yang berwarna kebiruan. Dan itu membuatnya tampak istimewa.
Giginya berwarna kemerahan karena kegemarannya mengunyah sirih.
Bajunya selalu rombeng tak karuan, namun tak lepas terdapat kesan artistik pula kutangkap dari sana.
Ia lebih sering memakai bawahan rok rombeng (jadi terkesan agak gypsian juga ni mbak endang setelah aku pikir…pikir…) dengan atasan kaos kumal dan rambut yang luar biasa eksentrik.
Entah kenapa rambutnya tak lagi pernah tumbuh panjang.
Hanya setengah senti, itupun berwarna putih karena uban.
Aku prediksi usianya waktu itu 45tahunan.
Mbak endang tinggal disebuah WC yang sangat tidak layak.
Sepertinya warga mengetahui keberadaan mbak endang disitu,
namun membiarkannya saja karena kasihan.
WC ini berukuran 1 x 1,5 m dan terbuat dari semen kira-kira cukup untuk tidur
namun tidak untuk menelonjorkan kaki.
Didalamnya berisi berbagai keburukan dari hidup.
Sampah plastik, daun kering, suasana yang lembab, tanaman liar, tanah lembab, serta aroma-aroma tidak menyenangkan.
Terkadang sampah mbak endang sendiri melengkapi suasana didalam WC sempit tersebut.
Kebiasaan mbak endang ialah membawa bungkusan kresek hitam, tempatnya menaruh segalanya. Dari baju, peniti, makanan yang ia temu di tempat sampah, barang-barang yang masih bisa dipake, sampai uang!
Ya, ia orang gila yang ngerti nilai uang.
Terkadang mbak endang meminta uang dari orang-orang yang ia temui,
Itupun dengan cukup sopan. sekedar untuk membeli nasi pengganjal perut jika ia lapar.
Sering aku bermain sendiri mengunjunginya, sembari bersantai melihat pepohonan jati yang memang terhampar luas didepan WC busuk mbak endang.
Cukup menghibur, karena hembusan angin yang luar biasa menyejukkan hati dan fikiran.
Aku hampir selalu penasaran dengan manusia yang satu ini.
Itu mungkin hampir sejalan dengan pemikiran yang sempat diutarakan oleh seorang pemikir perancis paling popular Michel Foucault tentang “madness and civilization”
Dimana pada masa pertengahan eropa segala bentuk ketidak normalan atau yang dianggap sebagai bagian dari “kegilaan” berusaha keras untuk dimusnahakan karena dianggap tidak efektif bagi kehidupan kenegaraan. Dibuatlah konsep orang-orang gila, penderita lepra, gelandangan, pengemis, bahkan kaum homoseksual dan lesbian yang diasingkan didalam sebuah penjara di pulau terpencil atau dimasukkan kedalam sebuah kapal dan ditenggelamkan ditengah samudera.
Namun disisi lain kita merasa jijik dan menganggap hal-hal tertentu tidak sesuai dengan apa yang dianggap normal/melanggar pakem norma sosial masyarakat, namun disisi lain kita selalu mencari-cari apa yang ingin kita singkirkan. Semakin ditutupi fenomena “ketidaknormalan” semakin banyak orang merasa penasaran untuk mencari, mengusik-usik dan mengetahuinya. Isn’t it??
Duduk berdua bersama mbak endang entah mengapa memberi ketenangan yang tak terjelaskan. Hanya ditemani desiran anginlah terkadang hati kami saling terkait.
Bahwa ditengah kesunyian itulah sepertinya hati kami bisa bercakap-cakap.
Kulihat dikedalaman matanya, tampak kesedihan didalamnya.
Namun, aku tak cukup berani untuk bertanya hal yang lebih jauh.
“kenapa kamu tinggal disini?”, “apakah yang ada dalam pikiranmu sekarang?”,
“kenapa kamu gila mbak?”, kira-kira terdengar sesarkastik itulah jika kulontarkan padanya. Sebaiknya memang kutahan untuk menjaga perasaannya.
Aku takut ia menjadi mengamuk.
Hampir persis dengan yang dikatakan penyair besar Kahlil Gibran :
“Kesunyian menerangi jiwa kita,
Berbisik kepada hati-hati kita,
Dan menyatukan mereka.
Kesunyian memisahkan kita dari diri kita.
Membuat kita melayani langit jiwa dan membuat kita
Lebih dekat dengan syurga”

Kesunyian terkadang menjelaskan.
Aku hanya berusaha memahami mbak endang dengan kediaman.
Namun satu hal yang ajaib, aku merasakan kebaikan hatinya entah bersumber darimana.
Aku selalu merasa kasihan sebenarnya untuknya.
Yang kudengar mitos diluar sana, mbak endang mulai menjadi gila ketika suaminya meninggalkannya untuk perempuan lain, itu saja.
Dan anak kecil sering ditakut-takuti akan diambil mbak endang jika nakal, karena anak mbak endang hilang entah kemana.
Kadang kuajak ia bicara ringan.
Sekedar menanyakan ia sudah makan atau kemana saja ia pergi berjalan hari ini.
Kadang ia bisa sangat lancar berceloteh, namun dilain waktu ngomongnya bisa ngelantur entah kemana.
Namun aku senang saja waktu itu dan tak berhenti bertanya.
Kulihat sisa rona kehalusan kulit wajahnya yang sudah mengkeriput.
Seperti pernah tampak ada kehormatan disitu, seperti pernah tampak ada kesenangan yang tlah berakhir.
Itulah kenapa mbak endang selalu menjadi misteri, sekaligus daya tarik yang memikat hatiku kuat-kuat.
Karena bersamanya imajinasiku tentang kemanusiaan melesat melampaui tingginya daun jati yang melambai tertiup angin sore dihadapanku.
Karena bersamanya aku merasa seperti terhubung.
Mbak endang hampir seperti orang gila yang waras .
entah kenapa.
Dia menghormatiku dengan sangat.
Membagi menjadi dua bagian kue kotor dari tangannya, yang entah darimana untuk ditawarkan padaku.
Sedangkan aku hampir seperti orang waras yang gila.
Mungkin itu mengapa kami berdua menjadi sangat cocok.
Sering kami “mengobrol” dengan cukup panjang satu sama lain.
Bercerita tentang hal-hal yang sepele.
Kadang mbak endang menjawab dengan tidak nyambung, namun terkadang kembali nyambung lagi. Bahkan sering pula ia terdiam dalam jangka waktu yang cukup lama.
Mbak endang yang dengan bangga memamerkan sebuah mangga yang “kroak”
(tidak utuh) karena sebagian dimakan oleh kelelawar.
Mangga-mangga itu sering ditemukannya dihalaman rumah noni sahabatku.
Sering ada 2-3 buah di WC nya sebagai persediaan makanan. Juga ada buah sawo dan terkadang jambu biji
acapkali diambilkannya buatku sebagai suguhan.
Kumakanlah dengan sukacita.
Begitulah hati seorang anak kecil, murni tak berprasangka.
Dengan dibekali keberanian seorang kesatria,
Akupun menyayangi seorang gila.
Henri Amel pernah berkata :
“Masa kanak-kanak diberkati oleh syurga karunia,
Membawa sepotong nirwana kedalam kekejaman hidup.
Semua ribuan kelahiran setiap hari adalah tambahan segar kepolosan
Dan kemurnian untuk melawan alam kita yang rusak”.

bahkan dengan segala keterbatasannya sekalipun, mbak endang masihlah orang yang pemurah.
Dan begitulah pulalah anak kecil, aku tak ambil pusing darimana mbak endang mendapatkan uang recehannya. Sering pula kuminta uangnya barang 50 rupiah.
Aku bilang untuk beli jajan.
Tampaknya mbak endang tak pernah tega padaku.
Diberikannya dengan sukarela.
Kulihat ia membuka genggaman tangannya yang basah oleh keringat.
Wah, banyak recehan disana.
Tampak daki hitam melekat ditelapak tangannya dan di uang receh yang berada digenggamannya.
Ada rasa hangat yang berasal dari tangannya sewaktu ia menyerahkan uang 50-an yang bergambar burung padaku.
Akupun mengelap uang itu dengan bajuku dan berlari senang
“…matur suwun yo mbak …..!”
(bahasa jawa : “terima kasih ya mbak..”)
Begitulah, kebaikan hati perempuan gila yang aku panggil mbak endang.
Bagian dari masa kecil ini pulalah mungkin yang memberikan aku pelajaran untuk menjadi manusia yang lebih pemberi. Menjadi manusia yang jauh lebih pemurah.
Betapa kita manusia tak pernah mampu menduga darimana kita akan belajar tentang makna sebuah kebaikan
Pelajaran mengenai kebaikan bahkan datang dari hal sederhana yang sangat tidak rumit.
Kemurnian masa kecil dan “kebijaksanaan” seorang gila yang niscaya membuat kita kembali berfikir untuk membuatnya menjadi sebuah cerminan.
Dari Mbak endang seorang perempuan gila, aku beranjak dewasa dengan membawa satu pelajaran tentang arti “memberi”. Dan memahami dengan lebih baik.
Bahwa disetiap kegilaan pasti ada kewarasan meski sedikit.
Bahwa disetiap wajah yang carut-marut oleh lubang-lubang bekas luka,
Tersimpang kemuliaan yang tak terkira.
Di momen itulah aku bertolak,
Di momen yang lebih banyak sunyi daripada ramai.
Dimana begitu banyak pertanyaanku tentang mbak endang tak pernah terjawab.
Dimana Tuhan menciptakan keselarasan yang mengalir begitu halus dan indah…
Dimana keselarasan adalah cara Tuhan untuk tetap tidak terlihat dan dikenal…
Dimana aku serasa tak menemukan jawaban ditengah ketertemuanku akan jawaban itu sendiri…
Begitulah akal sehat.
Yang sering tak lebih penting ketika nurani yang sehat tak turut hadir.
Dimana Voltaire pernah berujar :
“akal sehat bukanlah apa-apa melainkan sesuatu yang biasa”
Betapa kemalangan bagi mereka yang mengagung-agungkan akal sehat dan logikanya.
Yang mana logika itu sendiri memiliki kemampuan untuk menyesatkan dan memperbudak tuannya.
Sejak kepindahanku dari rumah lama ke rumah baru yang cukup jauh dari tempat tinggal mbak endang, aku kehilangan Dia.
Entah kenapa memoriku belakangan ini sering melompat-lompat ke masa lalu,
Seperti ada tahap dan fase dimana aku merekonstruksi ulang dan mengevaluasi kejadian dimasa lalu.
Bertumpuk-tumpuk memori lama yang luar biasa mampu kuingat detailnya.
Salah satunya ialah mengingat kembali sosok mbak endang,
“mmhh…aku merindukannya”
Aku tak pernah tau lagi kabar mbak endang.
Kabar terakhir yang kudengar mbak endang sudah tak ada lagi dikotaku…
Mbak endang menghilang entah kemana…..
“belakangan tampaknya bila sesuatu tidak tampak kompleks dan canggih kita tidak lagi menganggapnya bernilai. Akan tetapi sebagian besar kebenaran sebenarnya sederhana..”
(Sharma, Robin)

Senin, 30 April 2012



Aha.. Miskin? Siapa Takut!! Saya pernah ingat kata-kata ini diucapkan oleh salah seorang pengusaha sukses yang pernah saya ajak ngobrol. Pengusaha sukses ini sudah pensiun sekarang dari kegiatan usahanya, semua usahanya diserahkan pada orang kepercayaannya dan tiap bulannya ia menerima pasif income. Nah, pernah ngobrol sedikit, dan saya tanya-tanya. Apa prinsip sukses yang ia jalankan dalam meraih sukses?
Ia sendiri dulunya berlatar belakang bukanlah dari keluarga kaya. Jauh Malah… Orang tuanya seorang penjual kue keliling, ia sendiri tidak tamatan kuliah, malah cuma tamat SMP. Masa kecilnya besar di jalanan, bekerja mencari uang seumur anak SMP, dengan menjadi kernet angkot. Sampingan lainnya adalah menggali parit. Ini ia jalankan di masa kecilnya. Namun sekarang telah menjadi pengusaha sukses, yang malah sudah tidak aktif lagi dalam kegiatan usaha, namun berpenghasilan pasif income. Ini yang namanya usaha jalan, pemiliknya jalan-jalan. Ya, itulah nikmatnya jadi pengusaha sukses. Nah, bagaimana kisahnya dan prinsip yang ia pegang sehingga bisa mengubah kehidupannya dari anak jalanan menjadi pengusaha sukses? Mari kita ikuti kisah singkat perjalanan suksesnya..
Semasa kecil, dengan bermodalkan “bosan pada kemiskinan”, ia bekerja keras. Namun, ia tau kalau hanya dengan menjadi kernet angkot dan penggali parit, tentunya tidak akan mengubah nasibnya. Ia sadar, bahwa manusia mengubah nasib, bukan nasib digariskan oleh yang maha kuasa. Nasib bisa diubah. Nasib juga bukan bawaan keturunan. Ia bekerja menjadi pegawai di sebuah toko baju. Ia bekerja keras, bekerja rajin. Namun, ia bekerja bukan untuk mencari uang, melainkan ingin mendapatkan pengalaman, pengetahuan dan kenalan. So, gaji tidak menjadi prioritas utamanya. Ia tau kalau syarat untuk sukses, haruslah bekerja keras. Ia sambil bekerja, sambil membangun network.
Setelah beberapa tahun bekerja, dan membangun network, akhirnya ia berani membuka toko baju. Dan itu Tanpa Modal!! Pelajari cara membangun usaha tanpa modal di video modul sukses wirausaha. Toko pertama yang ia buka dengan tanpa modal sendiri itu pun berjalan maju. Ia memulai usaha dengan pengalaman bekerja yang telah ia lalui. Dari satu toko, mulailah menambah cabang menjadi 2 toko. Namun, suatu hari kebakaran melanda kompleks pertokoan yang meludeskan kedua tokonya. Namun, ia tidak kecewa. Prinsip yang selalu ia pegang adalah Ia tidak takut Miskin alias Berani Miskin. Ia sudah pernah mengalami kehidupan yang amat miskin, jadi kalaupun toh ia gagal, ia sudah tau bagaimana kehidupan miskin itu, jadi ia memutuskan harus kaya. Prinsipnya yang Gak Takut Miskin alias Berani Miskin inilah yang membuatnya berani berbisnis.
Ia pun membuka toko baju di tempat lainnya. Namun, malang lagi, setelah beberapa tahun berjalan, thn 1998 terjadi kerusuhan Mei 1998 di Palembang. Toko baju yang rame miliknya itu pun menjadi korban penjarahan besar-besaran. Isi toko ludes semua dibawa para penjarah. Namun, dengan prinsip tidak takut miskin, ia pun mencoba lagi. Ia terus mencoba berwirausaha, dan akhirnya singkat cerita sekarang ini telah menjadi wirausaha sukses. Pengusaha sukses pemilik berbagai usaha di Palembang ini juga telah membuktikan bahwa latar belakang masa kecil yang susah bisa berubah asalkan mau berusaha keras. Tidak ada Nasib yang tidak bisa diubah. Dan Jangan pernah takut miskin. Makin takut miskin akhirnya malah jadi miskin. Berani miskin malah gak miskin-miskin. So, bagaimana pendapat anda pemirsa? Mau juga jadi pengusaha sukses?

Kamis, 26 April 2012

PERJUANGAN MENAPAK HARI


PERJUANGAN MENAPAK HARI

Pengalaman ini saya alami sejak saya masih duduk di bangku SMP. Setiap pagi seperti biasa ayah bangunkan saya pagi-pagi sekali,ayah memang mengajarkan saya untuk bangun pagi sejak kecil agar saya disiplin katanya. Kalau saya bangun siang,ayah bisa marahin saya dengan omelan.
Ayah dan ibuku adalah seorang pedagang kecil-kecilan di pasar,dengan dagangan seadanya. Kalau musim mangga jualan mangga, ada jagung jualan jagung, kadang pisang, kadang juga kacang dan yang lainnya, tapi mostly buah-buahan.
Karena harus mempersiapkan dagangan untuk dibawa ke pasar orang tuaku pagi-pagi sekali sudah sibuk sedangkan saya mempersiapkan untuk berangkat sekolah. Ibuku jarang mempersiapkan sarapan untukku, ibu malah menyuruhku membeli sarapan sendiri malah kadang hampir telat ke sekolah gara-gara antrean beli sarapan dengan saingan ibu-ibu.
Secara waktu itu di kampungku yang jual sarapan masih sedikit. Selesai sarapan saya ke sekolah naik sepeda dengan jarak tempuh kira-kira 30 menit dari rumah, sampai di sekolah mengikuti pelajaran seperti biasa. Pulang sekolah teman-temanku mengajak main tapi aku menolak ajakan mereka,pulang sekolah rencanaku mencuci baju.
Capek mengayuh sepeda aku istirahat sejenak buat mengusir lelah.Aku melanjutkan dengan mencuci pakaianku,setelah usai perut rasanya lapar kembali tak ada makanan lagi untuk makan siang,ibuku hanya meninggalkan uang untukku buat beli makan.
Biasanya ibuku pulang dari pasar pergi lagi untuk mencari dagangan buat besok.Tiap hari kegiatanku begitu kadang aku bosan dan mencoba masak sendiri akhirnya aku bisa masak.Sejak itu aku merasa kurang perhatian,ngiri sekali dengan teman-teman yang lain yang makan tinggal makan,tidak perlu cuci baju dan tidak kekurangan perhatian.Padahal aku anak terakhir yang katanya sayangnya lebih dari yang lain…..
Saat di bangku SMK aku minta dibelikan sepeda motor tapi ibu tidak mengabulkannya aku malah disuruh kost,jadi tambah jarang ketemu ortu.
Tapi setelah aku kerja aku jadi benar-benar tahu maksud ibuku,ibu mengajarkanku untuk mandiri,aku yakin itu cara ibu menyayangi aku,banyak hikmah dari ajaran ibuku yg bermanfaat

TEKAD DAN KEMAUAN YANG KUAT - KISAH NYATA

TEKAD DAN KEMAUAN YANG KUAT



Namanya Hani. Hani Irmawati. Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun. Tinggal di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan tahunan mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika.
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.
“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.
“Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya,” tutur sang guru. “Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat.”
Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada.
Namun, Hani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.
“Maukah Anda mengirimkan namaku?” pintanya untuk didaftarkan sebagai
penerima beasiswa.
“Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik
dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga
dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya,” ujar sang guru.
“Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk
diterima itu tipis, mungkin nihil.”
Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa
Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang
yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar
bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.
Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat
dari asosiasi beasiswa itu.
“Inilah saat yang kejam. Penolakan,” pikir sang guru.
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang
guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani diterima
….
“Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah
diketahui Hani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi
juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk
percaya akan dirimu sendiri,” tutur sang guru menutup kisahnya.
Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship,
dan dimuat di buku “Chicken Soup for the College Soul”, yang edisi
Indonesianya telah diterbitkan.
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark
Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih
dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.
Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad
untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, “Perbedaan antara
yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang.