Senin, 30 April 2012



Aha.. Miskin? Siapa Takut!! Saya pernah ingat kata-kata ini diucapkan oleh salah seorang pengusaha sukses yang pernah saya ajak ngobrol. Pengusaha sukses ini sudah pensiun sekarang dari kegiatan usahanya, semua usahanya diserahkan pada orang kepercayaannya dan tiap bulannya ia menerima pasif income. Nah, pernah ngobrol sedikit, dan saya tanya-tanya. Apa prinsip sukses yang ia jalankan dalam meraih sukses?
Ia sendiri dulunya berlatar belakang bukanlah dari keluarga kaya. Jauh Malah… Orang tuanya seorang penjual kue keliling, ia sendiri tidak tamatan kuliah, malah cuma tamat SMP. Masa kecilnya besar di jalanan, bekerja mencari uang seumur anak SMP, dengan menjadi kernet angkot. Sampingan lainnya adalah menggali parit. Ini ia jalankan di masa kecilnya. Namun sekarang telah menjadi pengusaha sukses, yang malah sudah tidak aktif lagi dalam kegiatan usaha, namun berpenghasilan pasif income. Ini yang namanya usaha jalan, pemiliknya jalan-jalan. Ya, itulah nikmatnya jadi pengusaha sukses. Nah, bagaimana kisahnya dan prinsip yang ia pegang sehingga bisa mengubah kehidupannya dari anak jalanan menjadi pengusaha sukses? Mari kita ikuti kisah singkat perjalanan suksesnya..
Semasa kecil, dengan bermodalkan “bosan pada kemiskinan”, ia bekerja keras. Namun, ia tau kalau hanya dengan menjadi kernet angkot dan penggali parit, tentunya tidak akan mengubah nasibnya. Ia sadar, bahwa manusia mengubah nasib, bukan nasib digariskan oleh yang maha kuasa. Nasib bisa diubah. Nasib juga bukan bawaan keturunan. Ia bekerja menjadi pegawai di sebuah toko baju. Ia bekerja keras, bekerja rajin. Namun, ia bekerja bukan untuk mencari uang, melainkan ingin mendapatkan pengalaman, pengetahuan dan kenalan. So, gaji tidak menjadi prioritas utamanya. Ia tau kalau syarat untuk sukses, haruslah bekerja keras. Ia sambil bekerja, sambil membangun network.
Setelah beberapa tahun bekerja, dan membangun network, akhirnya ia berani membuka toko baju. Dan itu Tanpa Modal!! Pelajari cara membangun usaha tanpa modal di video modul sukses wirausaha. Toko pertama yang ia buka dengan tanpa modal sendiri itu pun berjalan maju. Ia memulai usaha dengan pengalaman bekerja yang telah ia lalui. Dari satu toko, mulailah menambah cabang menjadi 2 toko. Namun, suatu hari kebakaran melanda kompleks pertokoan yang meludeskan kedua tokonya. Namun, ia tidak kecewa. Prinsip yang selalu ia pegang adalah Ia tidak takut Miskin alias Berani Miskin. Ia sudah pernah mengalami kehidupan yang amat miskin, jadi kalaupun toh ia gagal, ia sudah tau bagaimana kehidupan miskin itu, jadi ia memutuskan harus kaya. Prinsipnya yang Gak Takut Miskin alias Berani Miskin inilah yang membuatnya berani berbisnis.
Ia pun membuka toko baju di tempat lainnya. Namun, malang lagi, setelah beberapa tahun berjalan, thn 1998 terjadi kerusuhan Mei 1998 di Palembang. Toko baju yang rame miliknya itu pun menjadi korban penjarahan besar-besaran. Isi toko ludes semua dibawa para penjarah. Namun, dengan prinsip tidak takut miskin, ia pun mencoba lagi. Ia terus mencoba berwirausaha, dan akhirnya singkat cerita sekarang ini telah menjadi wirausaha sukses. Pengusaha sukses pemilik berbagai usaha di Palembang ini juga telah membuktikan bahwa latar belakang masa kecil yang susah bisa berubah asalkan mau berusaha keras. Tidak ada Nasib yang tidak bisa diubah. Dan Jangan pernah takut miskin. Makin takut miskin akhirnya malah jadi miskin. Berani miskin malah gak miskin-miskin. So, bagaimana pendapat anda pemirsa? Mau juga jadi pengusaha sukses?

Kamis, 26 April 2012

PERJUANGAN MENAPAK HARI


PERJUANGAN MENAPAK HARI

Pengalaman ini saya alami sejak saya masih duduk di bangku SMP. Setiap pagi seperti biasa ayah bangunkan saya pagi-pagi sekali,ayah memang mengajarkan saya untuk bangun pagi sejak kecil agar saya disiplin katanya. Kalau saya bangun siang,ayah bisa marahin saya dengan omelan.
Ayah dan ibuku adalah seorang pedagang kecil-kecilan di pasar,dengan dagangan seadanya. Kalau musim mangga jualan mangga, ada jagung jualan jagung, kadang pisang, kadang juga kacang dan yang lainnya, tapi mostly buah-buahan.
Karena harus mempersiapkan dagangan untuk dibawa ke pasar orang tuaku pagi-pagi sekali sudah sibuk sedangkan saya mempersiapkan untuk berangkat sekolah. Ibuku jarang mempersiapkan sarapan untukku, ibu malah menyuruhku membeli sarapan sendiri malah kadang hampir telat ke sekolah gara-gara antrean beli sarapan dengan saingan ibu-ibu.
Secara waktu itu di kampungku yang jual sarapan masih sedikit. Selesai sarapan saya ke sekolah naik sepeda dengan jarak tempuh kira-kira 30 menit dari rumah, sampai di sekolah mengikuti pelajaran seperti biasa. Pulang sekolah teman-temanku mengajak main tapi aku menolak ajakan mereka,pulang sekolah rencanaku mencuci baju.
Capek mengayuh sepeda aku istirahat sejenak buat mengusir lelah.Aku melanjutkan dengan mencuci pakaianku,setelah usai perut rasanya lapar kembali tak ada makanan lagi untuk makan siang,ibuku hanya meninggalkan uang untukku buat beli makan.
Biasanya ibuku pulang dari pasar pergi lagi untuk mencari dagangan buat besok.Tiap hari kegiatanku begitu kadang aku bosan dan mencoba masak sendiri akhirnya aku bisa masak.Sejak itu aku merasa kurang perhatian,ngiri sekali dengan teman-teman yang lain yang makan tinggal makan,tidak perlu cuci baju dan tidak kekurangan perhatian.Padahal aku anak terakhir yang katanya sayangnya lebih dari yang lain…..
Saat di bangku SMK aku minta dibelikan sepeda motor tapi ibu tidak mengabulkannya aku malah disuruh kost,jadi tambah jarang ketemu ortu.
Tapi setelah aku kerja aku jadi benar-benar tahu maksud ibuku,ibu mengajarkanku untuk mandiri,aku yakin itu cara ibu menyayangi aku,banyak hikmah dari ajaran ibuku yg bermanfaat

TEKAD DAN KEMAUAN YANG KUAT - KISAH NYATA

TEKAD DAN KEMAUAN YANG KUAT



Namanya Hani. Hani Irmawati. Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun. Tinggal di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan tahunan mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika.
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.
“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.
“Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya,” tutur sang guru. “Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat.”
Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada.
Namun, Hani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.
“Maukah Anda mengirimkan namaku?” pintanya untuk didaftarkan sebagai
penerima beasiswa.
“Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik
dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga
dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya,” ujar sang guru.
“Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk
diterima itu tipis, mungkin nihil.”
Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa
Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang
yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar
bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.
Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat
dari asosiasi beasiswa itu.
“Inilah saat yang kejam. Penolakan,” pikir sang guru.
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang
guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani diterima
….
“Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah
diketahui Hani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi
juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk
percaya akan dirimu sendiri,” tutur sang guru menutup kisahnya.
Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship,
dan dimuat di buku “Chicken Soup for the College Soul”, yang edisi
Indonesianya telah diterbitkan.
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark
Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih
dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.
Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad
untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, “Perbedaan antara
yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang.