tag:blogger.com,1999:blog-70037527974861948712024-03-07T21:45:38.430-08:00Kisah Nilai Kehidupan - Kisah NyataKisah Nilai Kehidupanhttp://www.blogger.com/profile/16552030178101205553noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-7003752797486194871.post-60178860728459338652012-07-16T21:16:00.004-07:002012-07-16T21:16:52.895-07:00http://homezwork.com/-115930.htm<br />
<strong>http://homezwork.com/-115930.htm</strong><br />
<br />
<strong>Check the link for side income </strong><br />Kisah Nilai Kehidupanhttp://www.blogger.com/profile/16552030178101205553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7003752797486194871.post-52859045658118981422012-07-11T21:24:00.001-07:002012-07-11T21:24:08.762-07:00<br />
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank"><b>BAPA DISURGA TIDAK PERNAH MENINGGALKANMU.</b></a><br />
<br /><br />
<br />
Berikut sebuah cerita hikmah yang pernah saya dapatkan dari email
seorang teman… semoga cerita berikut dapat memotivasi ataupun
menginspirasi banyak orang ….<br />
Ada sebuah suku pada bangsa Indian yang memiliki cara yang unik
untuk mendewasakan anak laki-laki dari suku mereka.<br />
Jika seorang anak laki-laki tersebut dianggap sudah cukup umur
untuk di dewasakan, maka anak laki-laki tersebut akan di bawa pergi
oleh seorang pria dewasa yang bukan sanak saudaranya, dengan mata
tertutup.<br />
Anak laki-laki tersebut di bawa jauh menuju hutan yang paling
dalam. Ketika hari sudah menjadi sangat gelap, tutup mata anak
tersebut akan dibuka, dan orang yang menghantarnya akan
meninggalkannya sendirian. Ia akan dinyatakan lulus dan diterima
sebagai pria dewasa dalam suku tersebut jika ia tidak berteriak atau
menangis hingga malam berlalu.<br />
<a href="" name="more-362"></a>Malam begitu pekat, bahkan sang anak itu
tidak dapat melihat telapak tangannya sendiri, begitu gelap dan ia
begitu ketakutan. Hutan tersebut mengeluarkan suara-suara yang begitu
menyeramkan, auman serigala, bunyi dahan bergemerisik, dan ia semakin
ketakutan, tetapi ia harus diam, ia tidak boleh berteriak atau
menangis, ia harus berusaha agar ia lulus dalam ujian tersebut.<br />
Satu detik bagaikan berjam-jam, satu jam bagaikan bertahun-tahun,
ia tidak dapat melelapkan matanya sedetikpun, keringat ketakutan
mengucur deras dari tubuhnya.<br />
Cahaya pagi mulai tampak sedikit, ia begitu gembira, ia melihat
sekelilingnya, dan kemudian ia menjadi begitu kaget, ketika ia
mengetahui bahwa ayahnya berdiri tidak jauh dibelakang dirinya,
dengan posisi siap menembakan anak panah, dengan golok terselip
dipinggang, menjagai anaknya sepanjang malam, jikalau ada ular atau
binatang buas lainnya, maka ia dengan segera akan melepaskan anak
panahnya, sebelum binatang buas itu mendekati anaknya. Sambil berdoa
agar anaknya tidak berteriak atau menangis.<br />
Dalam mengarungi kehidupan ini, sepertinya Tuhan “begitu kejam”
melepaskan anak-anakNya kedalam dunia yang jahat ini.<br />Terkadang
kita tidak dapat melihat penyertaanNya, namun satu hal yang pasti..
!<br />DIA setia,<br />DIA mengasihi kita,<br />dan DIA selalu ada bagi
kita…<br />
<br />
<br />
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank">>>Klik disini untuk support anda supaya blog ini tetap eksis<<</a><br />
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank">“<i>Apa yang anda tabur tidak akan kembali sia sia”</i></a><br />
<br />Kisah Nilai Kehidupanhttp://www.blogger.com/profile/16552030178101205553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7003752797486194871.post-2196369834950136232012-07-11T21:15:00.000-07:002012-07-11T21:15:25.952-07:00<br />
<div style="margin-bottom: 0in;">
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank"><b>ANAK LOPER KORAN</b></a></div>
<div style="margin-bottom: 0in;">
<br />
</div>
<a href="" name="post_message_1636581549"></a>Cerita ini kudapatkan dari
email seorang teman. Cerita yang menarik sekali, kebetulan beberapa
hari lalu, saya juga mengalami hal yang menyentuh hati ketika
pagi-pagi berjumpa dengan seorang bocah penjaja koran juga.
Untuk kali ini, biarlah email dari teman saya postingkan di sini
dulu . Berikut cerita yang menginspirasi ini :<br />
Pagi itu seperti biasa saya berangkat pagi setelah subuh dari
rumah, ke tempat penyimpanan motor di bilangan cawang, uki, walau
sering terlambat, kali ini saya datang labih awal ketempat menunggu
bis antar jemput yang membawa saya ke kantor, saya menyukai naik bus
jemputan karena lelah berkendara dari depok-cikarang. Tidak tahan
kemacetan ibu kota.<br />
Seperti biasa saya duduk bersama rekan rekan sambil menunggu
jemputan. Tetapi karena saya datang lebih awal, munculah seorang
bocah lelaki yang seperti biasa menawarkan Koran kepada semua
penduduk shelter.<br />
<a href="" name="more-509"></a>” Koran, Koran, Kompas, Media, tempo,
republika, warta kota” begitu teriak bocah laki-laki tersebut
menawarkan Koran kepada kami. “Koran bang” dia menawari ku untuk
membeli Koran. “seperti biasa kompas satu” kataku meminta Koran
yang biasa kubaca setiap pagi.<br />
Tangan mungilnya dengan cekatan memilih Koran yang kuminta
diantara tumpukan Koran dagangannya.<br />
” ini bang Koran kompasnya” memberi Koran yang aku minta
kepadanya, “nih ada kembaliaanya engga” kataku sambil menyodorkan
uang Rp 50.000, kepadanya. “beres bang, pasti ada” segera
dikeluarkan kembaliannya dari tas gembloknya yang kotor, “wah
pagi-pagi uangnya dah banyak ya” kataku kepada bocah tersebut.<br />
“Allhamdulilah bang, rejeki saya lagi lancar” katanya sambil
tersenyum senang. Dan setelah itu diapun berlalu menawarkan Koran
kepada para penghuni shelter lainnya.<br />
Saat ini pukul 05.20, masih terlalu lama jemputan ku datang, maka
saya menyempatkan membaca oran kompas yang tadi saya beli pada bocah
tukang Koran tersebut.<br />
Tanpa sadar saya memperhatikan betapa gigih seorang bocah tukang
Koran tersbut mencari uang, dengan menawarkan daganganya kepada semua
orang yang datang dan pergi silih beranti.<br />
Sepintas tampak keringat membasahi wajahnya yang tegar dalam usia
beliaya harus berjuang memperoleh uang secara halal dan sebagai
pekerja keras.<br />
” Koran, mba ada tabloid nova, ada berita selebritisnya nih mba,
atau ini tabloid bintang, ada kabar artis bercerai” katanya bagai
seorang marketing ulung tanpa menyerah dia menawarkan Koran kepada
seorang wanita setengah baya yang pada akhirnya menyerah dan membeli
satu tabloid yang disebut sang bocah tersebut.<br />
Sambil memperhatikan terbersit rasa kagum dan rasa haru kepada
bocah tersebut, dan memperhatikan betapa gigihnya dia berusaha, hanya
tampak senyum ceria yang membuat semua orang yang ditawarinya tidak
marah. Tidak terdapat sedikit pun rasa putus asa dalam dirinya,
walaupun terkadang orang yang ditawarinya tidak membeli korannya.<br />
Sesaat mungkin bocah tersebut lelah menawarkan korannya, dan dia
terduduk disampingku, “kamu engga sekolah dik” tanyaku kepadanya
“engga bang, saya tidak ingin sekolah tinggi-tinggi” katanya.<br />
“engga ada biaya dik’ tanyaku menyelidik, “Bukan bang, walau
saya tukang Koran saya punya cita-cita” jawabnya, “maksudnya, kan
dengan sekolah kamu bisa mewujudkan cita-cita kamu dengan lebih
mudah” kataku menjawab.<br />
“Aku sering baca Koran bang, banyak orang yang telah sekolah
tinggi bahkan sarjana tidak bekerja bang, alias nganggur. Mending
saya walau sekolah tidak tinggi saya punya penghasilan bang”
katanya berusaha menjelaskan kepadaku. “abang ku bang, tidak
sekolah bisa buka agen Koran penghasilan sebulannya bisa 3-4 juta
bang, saya baca di Koran gaji pegawai honorer Cuma 700ribu, jadi buat
apa saya sekolah bang” tanyanya kepadaku<br />
Saya mengerutkan kening, tertanda saya tekejut dengan jawaban
bocah kecil tersebut pemikiran yang tajam, dan sebuah keritik yang
dalam buat saya yang seorang sarjana. Dalam hati saya membenarkan
perkataan anak tersebut, UMR kota bekasi saja +/-900rb untuk golongan
smu.<br />
Saya pun tersenyum mendengar jawaban anak tersebut, kemudian bus
jenputan saya pun tiba dan saya meninggalkan bocah tersebut tanpa
bisa menjawab pertanyaanya, apa tujuan kita sekolah, menjadi
sarjana.?<br />
Karena banyak sarjana sekarang yang begitu lepas kerja mengaggur,
tidak punya penghasilan, dan banyak juga karena belum bisa bekerja
yang melanjutkan S2 dengan alas an ingin mengisi waktu luang dan
menambah nilai jual dirinya.<br />
Tapi pernyataan bocah penjual Koran tersebut menyadarkan saya,
tentang rejeki, dan tujuan dari bersekolah, yang saat ini saya
mungkin kalah dengan bocah kecil tersebut, walau saya seorang yang
mempunyai penghasilan dan mempunyai suatu jabatan saya hanyalah
manusia gajian, saya hanya seorang buruh.<br />
Beda dengan bocah kecil tersebut, dalam usia belia dia sudah bisa
menjadi majikan untuk dirinya sendri. Sungguh hebat pemikiran lugu
bocah penjual Koran tersebut. pembalajaran yang menarik dari seorang
bocah kecil yang setiap hari kutemui.(EA)<br />“Rizky Tuhan sungguh
tidak terbatas, tinggal kemauan kita untuk dapat berusaha
menggapainYa”<br />
“Pelajaran Dapat di peroleh tidak hanya di pendidikan formal,
Dan dunia pun banyak memberi pelajaran untuk kita”<br />
<br />
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank">>> Klik disini untuk support anda supaya blog ini tetap eksis <<</a><br />
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank"><i>"Apa yang anda tabur tidak akan kembali sia sia"</i></a><br />Kisah Nilai Kehidupanhttp://www.blogger.com/profile/16552030178101205553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7003752797486194871.post-22520861028573391202012-07-11T21:06:00.003-07:002012-07-11T21:07:29.303-07:00<br />
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank"><b><span style="font-size: medium;">SEORANG GILA DAN PELAJARAN MEMBERI</span></b></a><b>
</b>
<br />
<i>“…bahkan sebuah ide kewarasan dan kebijaksanaan bisa lahir
dari sebuah kegilaan..”</i><b> </b>
<br />
“Endang Gundul….! Endang
gundul….!!”<br />
“plokk…plookk…plookk…”<br />
Sembari
menepuk-nepuk tangan dan bersorak-sorak,<br />
Kami segerombolan
setan-setan kecil berusia 10 tahunan asik mengejekki seorang
perempuan gila.<br />
Hampir setiap ia lewat didekat kami, secara
spontan dan kegirangan kami<br />
Merasa menemukan objek sekaligus
proyek untuk dikerjakan bersama-sama.<br />
Perempuan gila ini dilingkungan kami dikenal dengan panggilan
“mbak endang gundul”<br />
Bukan tanpa sebab ia dipanggil demikian,
hal itu karena Mbak endang memang<br />
Tidak memiliki rambut
dikepalanya, yang dengan kreatifnya ia ganti dengan apa yang aku
sebut dengan “rambut palsu”. Rambut ini terbuat dari kumpulan
kain perca berwarna-warni yang dijahitnya sendiri, sehingga membentuk
satu rangkaian menjuntai panjang.<br />
(persis seperti rambut gimbal
rasta versi calourfull dg bahan kain)<br />
Akhirnya dipasanglah “wig”
kontemporer buatan mbak endang itu menyerupai bando
dikepalanya.<br />
Harus kuakui ia kreatif sekali!.<br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7003752797486194871" name="more-598"></a>Jika tidak sedang mengejek, dan menyorakki,
maka kami dengan gaya<br />
Preman pasar meminta duit receh Dari mbak
endang sekedar buat jajan<br />
(betapa hina ya kami waktu itu, masa’
meras orang gila).cckk…ckk..<br />
Mbak endang yang ketakutan dan
grogi akhirnya mau juga memberi kami barang seratus ato lima puluh
perak….
<br />
Mbak endang sendiri tinggal di sebuah WC bekas tak jauh dari rumah
sahabat masa kecilku. Sebuah WC yang terdapat sebuah sumur tua di
sampingnya.<br />
Sumur yang airnya hanya sekitar 50 centi dan sangat
kotor oleh sampah.<br />
Sebenarnya WC sekaligus sumur tua ini merupakan
satu bagian dari “langgar” atau surau tua yang ada di desa
sahabatku itu. Sebenarnya rumah kami berdekatan (bersebarangan) namun
karena terpisah oleh jalan utama. Maka kami memiliki RT dan desa yang
berbeda.<br />
Setahuku langgar tersebut merupakan hibah dari seorang
tua kaya yang sudah lama sekali meninggal. Dan setahuku pula pewaris
atopun kerabatnya masih ada yang tersisa di desa tersebut. Namun
sepertinya mereka agak sekuler.<br />
Sehingga langgar tersebut tak lagi
pernah terpakai kecuali bulan ramadhan tiba.<br />
Karena kalah bersaing
dengan masjid gedhe yang berada tak jauh dari langgar tersebut.<br />
Sedih sekali pastinya pria tua yang menghibahkan langgarnya dengan
niat untuk dimanfaatkan oleh kerabat dan masyarakat, namun ternyata
tak terurus.<br />
Sering kulihat banyak kotoran cicak dilantainya yang
terbuat dari semen sederhana.<br />
Maupun sarang laba-laba yang
bergantung di langit-langit langgar.<br />
Langgar ini hanyalah sebuah
langgar yang kecil, mungkin hanya bisa menampung<br />
30-an
jemaah.<br />
Selepas ramadhan, maka langgarpun hanya menjadi tempat
bermain bagi anak-anak kecil seperti kami.<br />
Mbak endang, sering dalam kesendiriannya aku
memperhatikannya.<br />
Entah mengapa sejujurnya aku terpikat padanya,
entah karena alasan apa.<br />
Aku pikir ia menyimpan banyak misteri
dalam matanya.<br />
Dan aku serasa ingin tahu itu..<br />
Asal kalian tahu saja bahwa mbak endang memiliki pinggiran bola
mata yang berwarna kebiruan. Dan itu membuatnya tampak
istimewa.<br />
Giginya berwarna kemerahan karena kegemarannya mengunyah
sirih.<br />
Bajunya selalu rombeng tak karuan, namun tak lepas terdapat
kesan artistik pula kutangkap dari sana.<br />
Ia lebih sering memakai
bawahan rok rombeng (jadi terkesan agak gypsian juga ni mbak endang
setelah aku pikir…pikir…) dengan atasan kaos kumal dan rambut
yang luar biasa eksentrik.<br />
Entah kenapa rambutnya tak lagi pernah
tumbuh panjang.<br />
Hanya setengah senti, itupun berwarna putih karena
uban.<br />
Aku prediksi usianya waktu itu 45tahunan.<br />
Mbak endang tinggal disebuah WC yang sangat tidak
layak.<br />
Sepertinya warga mengetahui keberadaan mbak endang
disitu,<br />
namun membiarkannya saja karena kasihan.<br />
WC ini
berukuran 1 x 1,5 m dan terbuat dari semen kira-kira cukup untuk
tidur<br />
namun tidak untuk menelonjorkan kaki.<br />
Didalamnya berisi
berbagai keburukan dari hidup.<br />
Sampah plastik, daun kering,
suasana yang lembab, tanaman liar, tanah lembab, serta aroma-aroma
tidak menyenangkan.<br />
Terkadang sampah mbak endang sendiri
melengkapi suasana didalam WC sempit tersebut.<br />
<span style="text-decoration: none;">Kebiasaan </span>mbak endang
ialah membawa bungkusan kresek hitam, tempatnya menaruh segalanya.
Dari baju, peniti, makanan yang ia temu di tempat sampah,
barang-barang yang masih bisa dipake, sampai uang!<br />
Ya, ia orang
gila yang ngerti nilai uang.<br />
Terkadang mbak endang meminta uang
dari orang-orang yang ia temui,<br />
Itupun dengan cukup sopan. sekedar
untuk membeli nasi pengganjal perut jika ia lapar.<br />
Sering aku bermain sendiri mengunjunginya, sembari bersantai
melihat pepohonan jati yang memang terhampar luas didepan WC busuk
mbak endang.<br />
Cukup menghibur, karena hembusan angin yang luar
biasa menyejukkan hati dan fikiran.<br />
Aku hampir selalu penasaran dengan manusia yang satu ini.<br />
Itu
mungkin hampir sejalan dengan pemikiran yang sempat diutarakan oleh
seorang pemikir perancis paling popular Michel Foucault tentang
“madness and civilization”<br />
Dimana pada masa pertengahan eropa
segala bentuk ketidak normalan atau yang dianggap sebagai bagian dari
“kegilaan” berusaha keras untuk dimusnahakan karena dianggap
tidak efektif bagi kehidupan kenegaraan. Dibuatlah konsep orang-orang
gila, penderita lepra, gelandangan, pengemis, bahkan kaum homoseksual
dan lesbian yang diasingkan didalam sebuah penjara di pulau terpencil
atau dimasukkan kedalam sebuah kapal dan ditenggelamkan ditengah
samudera.<br />
Namun disisi lain kita merasa jijik dan menganggap
hal-hal tertentu tidak sesuai dengan apa yang dianggap
normal/melanggar pakem norma sosial masyarakat, namun disisi lain
kita selalu mencari-cari apa yang ingin kita singkirkan. Semakin
ditutupi fenomena “ketidaknormalan” semakin banyak orang merasa
penasaran untuk mencari, mengusik-usik dan mengetahuinya. Isn’t
it??<br />
Duduk berdua bersama mbak endang entah mengapa memberi ketenangan
yang tak terjelaskan. Hanya ditemani desiran anginlah terkadang hati
kami saling terkait.<br />
Bahwa ditengah kesunyian itulah sepertinya
hati kami bisa bercakap-cakap.<br />
Kulihat dikedalaman matanya, tampak
kesedihan didalamnya.<br />
Namun, aku tak cukup berani untuk bertanya
hal yang lebih jauh.<br />
“kenapa kamu tinggal disini?”, “apakah
yang ada dalam pikiranmu sekarang?”,<br />
“kenapa kamu gila mbak?”,
kira-kira terdengar sesarkastik itulah jika kulontarkan padanya.
Sebaiknya memang kutahan untuk menjaga perasaannya.<br />
Aku takut ia
menjadi mengamuk.<br />
Hampir persis dengan yang dikatakan penyair
besar Kahlil Gibran :<br />
<i>“Kesunyian menerangi jiwa kita,<br />Berbisik kepada hati-hati
kita,<br />Dan menyatukan mereka.<br />Kesunyian memisahkan kita dari
diri kita.<br />Membuat kita melayani langit jiwa dan membuat
kita<br />Lebih dekat dengan syurga”</i><br />
Kesunyian terkadang menjelaskan.<br />
Aku hanya berusaha memahami
mbak endang dengan kediaman.<br />
Namun satu hal yang ajaib, aku
merasakan kebaikan hatinya entah bersumber darimana.<br />
Aku selalu
merasa kasihan sebenarnya untuknya.<br />
Yang kudengar mitos diluar
sana, mbak endang mulai menjadi gila ketika suaminya meninggalkannya
untuk perempuan lain, itu saja.<br />
Dan anak kecil sering
ditakut-takuti akan diambil mbak endang jika nakal, karena anak mbak
endang hilang entah kemana.<br />
Kadang kuajak ia bicara ringan.<br />
Sekedar menanyakan ia sudah
makan atau kemana saja ia pergi berjalan hari ini.<br />
Kadang ia bisa
sangat lancar berceloteh, namun dilain waktu ngomongnya bisa
ngelantur entah kemana.<br />
Namun aku senang saja waktu itu dan tak
berhenti bertanya.<br />
Kulihat sisa rona kehalusan kulit wajahnya yang
sudah mengkeriput.<br />
Seperti pernah tampak ada kehormatan disitu,
seperti pernah tampak ada kesenangan yang tlah berakhir.<br />
Itulah
kenapa mbak endang selalu menjadi misteri, sekaligus daya tarik yang
memikat hatiku kuat-kuat.<br />
Karena bersamanya imajinasiku tentang
kemanusiaan melesat melampaui tingginya daun jati yang melambai
tertiup angin sore dihadapanku.<br />
Karena bersamanya aku merasa
seperti terhubung.<br />
Mbak endang hampir seperti orang gila yang waras .<br />
entah
kenapa.<br />
Dia menghormatiku dengan sangat.<br />
Membagi menjadi dua
bagian kue kotor dari tangannya, yang entah darimana untuk ditawarkan
padaku.<br />
Sedangkan aku hampir seperti orang waras yang
gila.<br />
Mungkin itu mengapa kami berdua menjadi sangat cocok.<br />
Sering kami “mengobrol” dengan cukup panjang satu sama
lain.<br />
Bercerita tentang hal-hal yang sepele.<br />
Kadang mbak endang
menjawab dengan tidak nyambung, namun terkadang kembali nyambung
lagi. Bahkan sering pula ia terdiam dalam jangka waktu yang cukup
lama.<br />
Mbak endang yang dengan bangga memamerkan sebuah mangga yang
“kroak”<br />
(tidak utuh) karena sebagian dimakan oleh
kelelawar.<br />
Mangga-mangga itu sering ditemukannya dihalaman rumah
noni sahabatku.<br />
Sering ada 2-3 buah di WC nya sebagai persediaan
makanan. Juga ada buah sawo dan terkadang jambu biji<br />
acapkali
diambilkannya buatku sebagai suguhan.<br />
Kumakanlah dengan
sukacita.<br />
Begitulah hati seorang anak kecil, murni tak
berprasangka.<br />
Dengan dibekali keberanian seorang kesatria,<br />
Akupun
menyayangi seorang gila.<br />
Henri Amel pernah berkata :<br />
<i>“Masa kanak-kanak diberkati oleh syurga karunia,<br />Membawa
sepotong nirwana kedalam kekejaman hidup.<br />Semua ribuan kelahiran
setiap hari adalah tambahan segar kepolosan<br />Dan kemurnian untuk
melawan alam kita yang rusak”.</i><br />
bahkan dengan segala keterbatasannya sekalipun, mbak endang
masihlah orang yang pemurah.<br />
Dan begitulah pulalah anak kecil, aku
tak ambil pusing darimana mbak endang mendapatkan uang recehannya.
Sering pula kuminta uangnya barang 50 rupiah.<br />
Aku bilang untuk
beli jajan.<br />
Tampaknya mbak endang tak pernah tega
padaku.<br />
Diberikannya dengan sukarela.<br />
Kulihat ia membuka
genggaman tangannya yang basah oleh keringat.<br />
Wah, banyak recehan
disana.<br />
Tampak daki hitam melekat ditelapak tangannya dan di uang
receh yang berada digenggamannya.<br />
Ada rasa hangat yang berasal
dari tangannya sewaktu ia menyerahkan uang 50-an yang bergambar
burung padaku.<br />
Akupun mengelap uang itu dengan bajuku dan berlari senang<br />
“…matur
suwun yo mbak …..!”<br />
(bahasa jawa : “terima kasih ya mbak..”)<br />
Begitulah, kebaikan hati perempuan gila yang aku panggil mbak
endang.<br />
Bagian dari masa kecil ini pulalah mungkin yang memberikan
aku pelajaran untuk menjadi manusia yang lebih pemberi. Menjadi
manusia yang jauh lebih pemurah.<br />
Betapa kita manusia tak pernah
mampu menduga darimana kita akan belajar tentang makna sebuah
kebaikan<br />
Pelajaran mengenai kebaikan bahkan datang dari hal
sederhana yang sangat tidak rumit.<br />
Kemurnian masa kecil dan
“kebijaksanaan” seorang gila yang niscaya membuat kita kembali
berfikir untuk membuatnya menjadi sebuah cerminan.<br />
Dari Mbak endang seorang perempuan gila, aku beranjak dewasa
dengan membawa satu pelajaran tentang arti “memberi”. Dan
memahami dengan lebih baik.<br />
Bahwa disetiap kegilaan pasti ada
kewarasan meski sedikit.<br />
Bahwa disetiap wajah yang carut-marut
oleh lubang-lubang bekas luka,<br />
Tersimpang kemuliaan yang tak
terkira.<br />
Di momen itulah aku bertolak,<br />
Di momen yang lebih banyak sunyi
daripada ramai.<br />
Dimana begitu banyak pertanyaanku tentang mbak
endang tak pernah terjawab.<br />
Dimana Tuhan menciptakan keselarasan
yang mengalir begitu halus dan indah…<br />
Dimana keselarasan adalah
cara Tuhan untuk tetap tidak terlihat dan dikenal…<br />
Dimana aku
serasa tak menemukan jawaban ditengah ketertemuanku akan jawaban itu
sendiri…<br />
Begitulah akal sehat.<br />
Yang sering tak lebih penting ketika
nurani yang sehat tak turut hadir.<br />
Dimana Voltaire pernah berujar
:<br />
<i>“akal sehat bukanlah apa-apa melainkan sesuatu yang biasa”</i><br />
Betapa kemalangan bagi mereka yang mengagung-agungkan akal sehat
dan logikanya.<br />
Yang mana logika itu sendiri memiliki kemampuan
untuk menyesatkan dan memperbudak tuannya.<br />
Sejak kepindahanku dari rumah lama ke rumah baru yang cukup jauh
dari tempat tinggal mbak endang, aku kehilangan Dia.<br />
Entah kenapa
memoriku belakangan ini sering melompat-lompat ke masa lalu,<br />
Seperti
ada tahap dan fase dimana aku merekonstruksi ulang dan mengevaluasi
kejadian dimasa lalu.<br />
Bertumpuk-tumpuk memori lama yang luar biasa
mampu kuingat detailnya.<br />
Salah satunya ialah mengingat kembali
sosok mbak endang,<br />
“mmhh…aku merindukannya”<br />
Aku tak pernah tau lagi kabar mbak endang.<br />
Kabar terakhir yang
kudengar mbak endang sudah tak ada lagi dikotaku…<br />
Mbak endang
menghilang entah kemana…..<br />
<i>“belakangan tampaknya bila sesuatu tidak tampak kompleks dan
canggih kita tidak lagi menganggapnya bernilai. Akan tetapi sebagian
besar kebenaran sebenarnya sederhana..”<br /><a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank">(Sharma, Robin)</a></i>Kisah Nilai Kehidupanhttp://www.blogger.com/profile/16552030178101205553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7003752797486194871.post-29835054809903664602012-04-30T19:45:00.001-07:002012-04-30T19:46:33.740-07:00<br />
<div style="margin-bottom: 0in;">
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank"><b>JANGAN TAKUT UNTUK MISKIN</b></a></div>
<div style="margin-bottom: 0in;">
<br />
</div>
<a href="" name="more-2897"></a>Aha.. Miskin? Siapa Takut!! Saya pernah
ingat kata-kata ini diucapkan oleh salah seorang pengusaha sukses
yang pernah saya ajak ngobrol. Pengusaha sukses ini sudah pensiun
sekarang dari kegiatan usahanya, semua usahanya diserahkan pada orang
kepercayaannya dan tiap bulannya ia menerima pasif income. Nah,
pernah ngobrol sedikit, dan saya tanya-tanya. Apa prinsip sukses yang
ia jalankan dalam meraih sukses?<br />
Ia sendiri dulunya berlatar belakang bukanlah dari keluarga kaya.
Jauh Malah… Orang tuanya seorang penjual kue keliling, ia sendiri
tidak tamatan kuliah, malah cuma tamat SMP. Masa kecilnya besar di
jalanan, bekerja mencari uang seumur anak SMP, dengan menjadi kernet
angkot. Sampingan lainnya adalah menggali parit. Ini ia jalankan di
masa kecilnya. Namun sekarang telah menjadi pengusaha sukses, yang
malah sudah tidak aktif lagi dalam kegiatan usaha, namun
berpenghasilan pasif income. Ini yang namanya usaha jalan, pemiliknya
jalan-jalan. Ya, itulah nikmatnya jadi pengusaha sukses. Nah,
bagaimana kisahnya dan prinsip yang ia pegang sehingga bisa mengubah
kehidupannya dari anak jalanan menjadi pengusaha sukses? Mari kita
ikuti kisah singkat perjalanan suksesnya..<br />
Semasa kecil, dengan bermodalkan “bosan pada kemiskinan”, ia
bekerja keras. Namun, ia tau kalau hanya dengan menjadi kernet angkot
dan penggali parit, tentunya tidak akan mengubah nasibnya. Ia sadar,
bahwa manusia mengubah nasib, bukan nasib digariskan oleh yang maha
kuasa. Nasib bisa diubah. Nasib juga bukan bawaan keturunan. Ia
bekerja menjadi pegawai di sebuah toko baju. Ia bekerja keras,
bekerja rajin. Namun, ia bekerja bukan untuk mencari uang, melainkan
ingin mendapatkan pengalaman, pengetahuan dan kenalan. So, gaji tidak
menjadi prioritas utamanya. Ia tau kalau syarat untuk sukses,
haruslah bekerja keras. Ia sambil bekerja, sambil membangun network.<br />
Setelah beberapa tahun bekerja, dan membangun network, akhirnya ia
berani membuka toko baju. Dan itu Tanpa Modal!! Pelajari cara
membangun usaha tanpa modal di <span style="color: navy;"><span lang="zxx"><u><a href="http://antonhuang.com/modulsukseswirausaha" target="_blank">video
modul sukses wirausaha</a></u></span></span>. Toko pertama yang ia
buka dengan tanpa modal sendiri itu pun berjalan maju. Ia memulai
usaha dengan pengalaman bekerja yang telah ia lalui. Dari satu toko,
mulailah menambah cabang menjadi 2 toko. Namun, suatu hari kebakaran
melanda kompleks pertokoan yang meludeskan kedua tokonya. Namun, ia
tidak kecewa. Prinsip yang selalu ia pegang adalah Ia tidak takut
Miskin alias Berani Miskin. Ia sudah pernah mengalami kehidupan yang
amat miskin, jadi kalaupun toh ia gagal, ia sudah tau bagaimana
kehidupan miskin itu, jadi ia memutuskan harus kaya. Prinsipnya yang
Gak Takut Miskin alias Berani Miskin inilah yang membuatnya berani
berbisnis.<br />
<div style="border-color: -moz-use-text-color -moz-use-text-color rgb(0, 0, 0); border-style: none none double; border-width: medium medium 1.1pt; padding: 0in 0in 0.03in;">
Ia pun membuka toko baju di tempat lainnya. Namun, malang lagi,
setelah beberapa tahun berjalan, thn 1998 terjadi kerusuhan Mei 1998
di Palembang. Toko baju yang rame miliknya itu pun menjadi korban
penjarahan besar-besaran. Isi toko ludes semua dibawa para penjarah.
Namun, dengan prinsip tidak takut miskin, ia pun mencoba lagi. Ia
terus mencoba berwirausaha, dan akhirnya singkat cerita sekarang ini
telah menjadi wirausaha sukses. Pengusaha sukses pemilik berbagai
usaha di Palembang ini juga telah membuktikan bahwa latar belakang
masa kecil yang susah bisa berubah asalkan mau berusaha keras. Tidak
ada Nasib yang tidak bisa diubah. Dan Jangan pernah takut miskin.
Makin takut miskin akhirnya malah jadi miskin. Berani miskin malah
gak miskin-miskin. So, bagaimana pendapat anda pemirsa? Mau juga jadi
pengusaha sukses?</div>Kisah Nilai Kehidupanhttp://www.blogger.com/profile/16552030178101205553noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7003752797486194871.post-66616092402896968902012-04-26T20:56:00.001-07:002012-04-26T20:56:38.549-07:00PERJUANGAN MENAPAK HARI<br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=7003752797486194871" name="more-629"></a><a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank">PERJUANGAN MENAPAK HARI </a><br />
<br />
Pengalaman ini saya alami sejak saya masih
duduk di bangku SMP. Setiap pagi seperti biasa ayah bangunkan saya
pagi-pagi sekali,ayah memang mengajarkan saya untuk bangun pagi sejak
kecil agar saya disiplin katanya. Kalau saya bangun siang,ayah bisa
marahin saya dengan omelan.<br />
Ayah dan ibuku adalah seorang pedagang
kecil-kecilan di pasar,dengan dagangan seadanya. Kalau musim mangga
jualan mangga, ada jagung jualan jagung, kadang pisang, kadang juga
kacang dan yang lainnya, tapi mostly buah-buahan.<br />
Karena harus
mempersiapkan dagangan untuk dibawa ke pasar orang tuaku pagi-pagi
sekali sudah sibuk sedangkan saya mempersiapkan untuk berangkat
sekolah. Ibuku jarang mempersiapkan sarapan untukku, ibu malah
menyuruhku membeli sarapan sendiri malah kadang hampir telat ke
sekolah gara-gara antrean beli sarapan dengan saingan ibu-ibu.<br />
Secara
waktu itu di kampungku yang jual sarapan masih sedikit. Selesai
sarapan saya ke sekolah naik sepeda dengan jarak tempuh kira-kira 30
menit dari rumah, sampai di sekolah mengikuti pelajaran seperti
biasa. Pulang sekolah teman-temanku mengajak main tapi aku menolak
ajakan mereka,pulang sekolah rencanaku mencuci baju.<br />
Capek mengayuh
sepeda aku istirahat sejenak buat mengusir lelah.Aku melanjutkan
dengan mencuci pakaianku,setelah usai perut rasanya lapar kembali tak
ada makanan lagi untuk makan siang,ibuku hanya meninggalkan uang
untukku buat beli makan.<br />
Biasanya ibuku pulang dari pasar pergi lagi
untuk mencari dagangan buat besok.Tiap hari kegiatanku begitu kadang
aku bosan dan mencoba masak sendiri akhirnya aku bisa masak.Sejak itu
aku merasa kurang perhatian,ngiri sekali dengan teman-teman yang lain
yang makan tinggal makan,tidak perlu cuci baju dan tidak kekurangan
perhatian.Padahal aku anak terakhir yang katanya sayangnya lebih dari
yang lain…..<br />
Saat di bangku SMK aku minta dibelikan sepeda motor
tapi ibu tidak mengabulkannya aku malah disuruh kost,jadi tambah
jarang ketemu ortu.<br />
Tapi setelah aku kerja aku jadi benar-benar
tahu maksud ibuku,ibu mengajarkanku untuk mandiri,aku yakin itu cara
ibu menyayangi aku,banyak hikmah dari ajaran ibuku yg bermanfaatKisah Nilai Kehidupanhttp://www.blogger.com/profile/16552030178101205553noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7003752797486194871.post-55899789719016802032012-04-26T20:12:00.000-07:002012-04-26T20:12:17.555-07:00TEKAD DAN KEMAUAN YANG KUAT - KISAH NYATA<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank">TEKAD DAN KEMAUAN YANG KUAT</a><br />
<a href="http://homezwork.com/-115930.htm" target="_blank"></a><br />
<br />
<br />
Namanya Hani. Hani Irmawati. Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun. Tinggal di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan tahunan mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika.<br />
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.<br />
<a href="" name="more-569"></a>“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan.<br />
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.<br />
“Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya,” tutur sang guru. “Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat.”<br />
Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada.<br />
Namun, Hani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.<br />
“Maukah Anda mengirimkan namaku?” pintanya untuk didaftarkan sebagai<br />
penerima beasiswa.<br />
“Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik<br />
dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga<br />
dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya,” ujar sang guru.<br />
“Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk<br />
diterima itu tipis, mungkin nihil.”<br />
Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa<br />
Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang<br />
yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar<br />
bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.<br />
Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat<br />
dari asosiasi beasiswa itu.<br />
“Inilah saat yang kejam. Penolakan,” pikir sang guru.<br />
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang<br />
guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani diterima<br />
….<br />
“Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah<br />
diketahui Hani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi<br />
juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk<br />
percaya akan dirimu sendiri,” tutur sang guru menutup kisahnya.<br />
Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship,<br />
dan dimuat di buku “Chicken Soup for the College Soul”, yang edisi<br />
Indonesianya telah diterbitkan.<br />
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark<br />
Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih<br />
dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.<br />
Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad<br />
untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, “Perbedaan antara<br />
yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang.Kisah Nilai Kehidupanhttp://www.blogger.com/profile/16552030178101205553noreply@blogger.com0